Saur Sepuh adalah sebuah sandiwara yang disiarkan melalui media radio pada tahun 1980-an di Indonesia. Saur Sepuh mengambil latar pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk pada zaman kerajaan Hindu Buddha Majapahit di nusantara. Serial ini mampu memukau jutaan pendengarnya di seluruh pelosok nusantara. Hampir di tiap-tiap jam tertentu, masyarakat dengan seksama mendengarkan serial ini. Pada saat itu, radio adalah satu-satunya media hiburan rakyat Indonesia yang masih langka, sehingga untuk mendengarkannya mesti secara beramai-ramai ke rumah tetangga yang memiliki radio.
Serial sandiwara ini adalah karya Niki Kosasih sebagi pencetus ide dan cerita. Perusahaan farmasi Kalbe Farma sebagai produsen obat-obatan ternama menjadi mitra utama dari serial ini. Dengan durasi 30 menit dipotong iklan produk obat-obatan, serial ini mampu menghipnotis para pendengarnya untuk berhenti beraktivitas, dan berkonsentrasi untuk mendengarkannya.
Ceritanya berpusat pada Brama Kumbara, seorang pewaris tahta kerajaan Madangkara yang pada awal kisah diceritakan tengah dijajah oleh kerajaan Kuntala. Setelah kemudian Brama berhasil menumbangkan kekuasaan Kuntala dan memulihkan kedaulatan Madangkara, kisah berlanjut dengan permusuhan antara Brama dengan Gardika yang ingin mengembalikan kekuasaan Kuntala.
Dalam sebuah pertarungan dengan Gardika, Brama yang terluka parah oleh ajian serat jiwa milik Gardika diselamatkan oleh seekor burung Rajawali raksasa. Burung rajawali ini kemudian menjadi sahabat Brama. Rajawali bahkan kemudian menunjukkan kepada Brama di mana tersimpan kitab asli ajian Serat Jiwa, yang ternyata adalah milik kakek Astagina, kakek dari Brama. Secara tidak sadar, ilmu yang selama ini dipelajari oleh Brama dari Kakek Astagina (ajian Tapak Saketi, ajian Gelang Gelang, dan ajian Bayu Bajra) adalah bagian dari ajian Serat Jiwa. Brama berhasil menguasai ajian Serat Jiwa hingga ke tingkat paling tinggi (Tingkat 10).
Permusuhan Brama dan Gardika akhirnya mencapai puncaknya ketika keduanya berduel mempertaruhkan antara hidup dan mati, berakhir dengan tewasnya Gardika di tangan Brama. Gardika yang sepanjang hidupnya banyak melakukan kejahatan digambarkan tubuhnya hancur menjadi tepung.
Dalam perjalanannya, Gardika ditemani oleh seorang bernama Kendala. Pada dasarnya Kendala adalah orang baik. Setelah Gardika tewas di tangan Brama, Kendala mendapat pengampunan dari Brama dan kemudian mengabdi kepada Madangkara.
Kisah kemudian dilanjutkan dengan perseteruan antara Brama dengan Panembahan Gunung Saba, pada bagian ini dikisahkan bahwa Ajian Serat jiwa yang sebelumnya dianggap sebagai ilmu tertinggi menemukan tandingannya yaitu ajian Waringin Sungsang. Brama yang hampir tewas setelah bertarung hidup mati dengan dua murid Panembahan Gunung Saba (Kijara dan Lugina) malah secara tidak sengaja mendapatkan ajian Lampah Lumpuh yang digambarkan tidak dapat dikalahkan. Dalam perjalan cerita dikisahkan pula ada ajian Cipta Dewa yang merupakan olahan dari intisari dari ajian serat jiwa yang dikuasai oleh Lasmini,ilmu ini diperkirakan lebih hebat dari ajian lampah lumpuh milik Brama ,namun tidak pernah terbukti mengalahkan Brama secara langsung.Sampai akhir cerita ajian lampah lumpuh tidak terkalahkan, hanya 1 kali bertanding imbang dengan ilmu Ikatan Roh milik biksu Tibet.
Kisah kisah Saur Sepuh :
DARAH BIRU
PERJALANAN BERDARAH
SINGGASANA BERDARAH
BARA DI BUMI ANGKARA
BANJIR DARAH DI BUBAT
SASTRAWAN DARI JAMPARING
SENGKETA TANAH LELUHUR
SATRIA MADANGKARA
DARAH PUTRA SANGGAM
PESANGGRAHAN KERAMAT
TELAGA RENA MAHAWIJAYA
KEMBANG GUNUNG LAWU
MUTIARA DARI TIMUR
AIRMATA DI MADANGKARA
PERAWAN BUKIT LEJAR
PERGURUAN ANGGREK JINGGA
TITISAN DARAH BIRU
ISTANA ATAP LANGIT
DIATAS LANGIT ADA LANGIT
SEPASANG WALET PUTIH
tokoh-tokoh dari SAUR SEPUH :
Brama Kumbara (suara diisi oleh Ferry Fadli): Raja Madangkara, kakak dari gusti putri Dewi Mantili, Beristrikan Dewi Harnum, Pramitha. Murid dari Ki Astagina. Brama Kumbara memiliki ajian gelang-gelang, Serat Jiwa, Ajian Waringin sungsang, Ilmu Ciptadewa. Brama Kumbara Diperankan oleh Fendi pradana.
Mantili (suara diisi oleh Elly Ermawati): Adik dari Brama Kumbara, mempunyai pedang setan dan pedang perak. Pedang setan akan mengeluarkan asap beracun sementara pedang perak mampu membutakan mata. Mantili mempunyai musuh bebuyutan yaitu Lasmini, wanita sundal yang mengumbar cinta dimana-mana.
Dewi Harnum : (suara diisi oleh Nani Sumardi)Istri pertama Brama Kumbara
Paramita (suara diisi oleh Maria Oentoe) : Istri kedua Brama Kumbara
Raden Samba (suara diisi oleh Edy Dhosa)
Lasmini (suara diisi oleh Ivonne Rose): Perempuan penggoda, yang menebar cinta dimana-mana. Mempunyai Ilmu Cipta Dewa yang mampu mengalahkan mantili dalam duel berdua. Lasmini menyimpan dendam membara pada Brama Kumbara karena cintaya yang tidak terbalaskan. Diperankan oleh murti sari dewi.
Bongkeng (suara diisi oleh Bahar Mario)
Merit (suara diisi Mario Kulon)
Patih Gotawa (suara diisi oleh Petrus C.Urspon): Suami Mantili
Raden Bentar (suara diisi oleh Petrus C.Urspon): Putra Senopati Sadeng dan Dewi Pramitha sekaligus anak tiri dari Brama Kumbara. Raden Bentar merupakan generasi kedua Saur sepuh setelah Brama Kumbara dan Mantili bertapa disuatu tempat.
Garnis Waningyun (suara diisi oleh Anna Sambayon pernah juga Novia Kolopaking): Kakak kandung Raden Bentar. Kelak ia bahu membahu dengan raden Bentar untuk mempertahankan Madangkara dari gerogotan orang-orang Kuntala.
Raden Wanapati : Putra Mahkota Madangkara yang menggantikan Brama Kumbara. Dibawah kendali Wanapati, Madangkara banyak bergejolak, ketidak puasaan akan kepemimpinan kaum muda yang emosional di tentang oleh kaum-kaum tua yang telah berjasa pada Madangkara.
Raden Paksi Jaladara (suara diisi oleh Bambang Jeger) : Putra dari Mantili dan Patih Gotawa
Dewi Anjani (suara diisi oleh Novia Kolopaking) : Anak Lasmini. Mempunyai wajah yang amat mirip dengan Lasmini. Raden Bentar yang cinta mati dengan Lasmini (tapi ditentang Mantili) akhirnya tertarik juga dengan Dewi Anjani. Dalam menjalin Cinta Raden Bentar - Dewi Anjani, ada pihak ketiga yaitu sekar kedaton Madangkara Dewi Rara Amiati
Setelah sandiwara radionya sukses dan menjadi populer secara nasional, Saur Sepuh merambah ke layar lebar pada tahun 1987. Bekerjasama dengan Kanta Indah Film, Kalbe Farma turut mendanai pembuatan film Saur Sepuh yang disutradarai oleh sutradara ternama Imam Tantowi. Saur Sepuh akhirnya dirilis di film layar lebar secara nasional pada tahun 1987, dan setelah sukses besarnya juga diikuti oleh empat film sekuelnya dalam sebuah waralaba. Lima film serial Saur Sepuh tersebut yaitu:
Saur Sepuh: Satria Madangkara (1987)
Film Saur Sepuh: Satria Madangkara terjadi pada latar zaman kerajaan Majapahit. Film ini dirilis tahun 1987, dengan disutradarai oleh Imam Tantowi dan dibintangi oleh Fendi Pradana sebagai Brama Kumbara, Elly Ermawatie (yang juga mengisi suara Mantili dalam versi sandiwara radionya) sebagai Mantili, dan Murti Sari Dewi sebagai Lasmini.
Bibit konflik dan peperangan mulai tumbuh di bumi Kerajaan Majapahit setelah Bhre Wirabhumi mendirikan Kerajaan Pamotan dan bertekad untuk merebut tahta kerajaan besar yang menjadi besar di bawah kepemimpinan ayahnya, Prabu Hayam Wuruk, dari tangan Wikramawardhana, menantu ayahnya tersebut. Dalam kekacauan tersebut, kekasih Lasmini, seorang hulubalang dari Kerajaan Pamotan, tewas di tangan Brama Kumbara karena telah membunuh utusan dari Kerajaan Madangkara yang berniat mendamaikan pertikaian Kerajaan Pamotan dan Majapahit. Lasmini tidak terima atas kematian kekasihnya tersebut sehingga menuntut balas pada Brama Kumbara, seorang satria gagah berani dan bersahaja dari Kerajaan Madangkara yang menjadi buah bibir di warga Madangkara. Akan tetapi ketika berhadapan dengan Brama Kumbara, Lasmini menjadi terpikat dan jatuh hati pada Brama, namun dia juga menjadi muak pada Mantili, adik kesayangan Brama. Kisah ini menjadi awal mula kisah cinta tragis dalam serial Saur Sepuh, dimana cinta Lasmini pada Brama tidak terbalas dan menjadi musuh bebuyutan Mantili.
Saur Sepuh II: Pesanggrahan Keramat (1988)
Setelah sukses lewat Satria Madangkara, Kanta Indah Film kembali memproduksi sekuel dari film pertamanya dengan judul Pesanggrahan Keramat. Film yang dirilis tahun 1988 ini kembali disutradarai oleh Imam Tantowi dan masih menggunakan pemeran-pemeran yang sama dengan Satria Madangkara.
Dalam Pesanggrahan Keramat, makam dari guru Brama Kumbara dibakar dan dirusak oleh komplotan yang dipimpin Ki Jara dan Ki Lugina yang di dukung oleh Karti, seorang saudagar dari Kuntala. Brama menjadi murka dan menuntut balas pada orang-orang yang telah membakar makam gurunya. Film ini menggambarkan adegan-adegannya secara sesuai dengan yang diceritakan dalam versi sandiwara radionya. Antara lain dalam adegan dimana Brama dilempar pisau, namun tiba-tiba menghilang dan muncul di belakang orang yang hendak membunuhnya.
Saur Sepuh III: Kembang Gunung Lawu (1988)
Setelah sukses kedua kalinya lewat Pesanggrahan Keramat, Kanta Indah Film kembali memproduksi Kembang Gunung Lawu sebagai bagian waralaba Saur Sepuh. Kembang Gunung Lawu dirilis tahun 1988 dan kembali disutradarai oleh Imam Tantowi dan masih menggunakan pemeran-pemeran yang sama dengan Satria Madangkara. Film ini berkisah tentang latar belakang Lasmini, salah satu tokoh utama dalam kisah cinta tragis Saur Sepuh, yang dikenal dengan nama "Kembang Gunung Lawu" dengan perguruan "Anggrek Jingga"-nya.
Lasmini adalah istri dari seorang pedagang di Kawali yang diperkosa oleh anak buah suaminya dan kemudian dibuang ke jurang. Dalam keadaan sekarat, Lasmini mendapat pertolongan dari seorang nenek tua yang kelak akan menjadi gurunya. Setelah berilmu, Lasmini kembali ke Kawali dan menuntut balas secara keji ke orang-orang yang telah memperkosa dan membuangnya. Tindakan Lasmini yang sewenang-wenang mengundang Mantili untuk ikut berduel, walaupun pada akhirnya kalah oleh kesaktian Lasmini. Dengan ajaran ajian Srigunting dari kakaknya, Prabu Brama Kumbara, Mantili kembali berduel dengan Lasmini. Dengan latar duel di pantai yang penuh dengan efek khusus yang memukau penonton kala itu, film ini banyak menarik penonton perfilman Indonesia kala itu. Film Saur Sepuh 3 dengan tokoh sentral Lasmini.
Saur Sepuh IV: Titisan Darah Biru (1991)
Dirilis pada tahun 1991, Titisan Darah Biru menceritakan tentang generasi kedua dari Kerajaan Madangkara dengan tokoh utama Raden Wanapati, Raden Bentar, dan Garnis Waningyun. Titisan Darah Biru dibintangi oleh Adi Kuncoro sebagai Wanapati, Candy Satrio sebagai Bentar dan Devi permatasari sebagai Garnis Waningyun. Secara keseluruhan film ini dinilai mengalami kemajuan dibanding-film-film pendahulunya dari segi penataan musiknya.
Cerita dalam Titisan Darah Biru cenderung lepas dari film-film pendahulunya. Film ini menceritakan tentang kepemimpinan Wanapati yang cenderung emosional sehingga banyak menghadapi tentangan dari kaum sesepuh kerajaan Madangkara. Sementara sang Prabu Brama Kumbara yang sedang bertapa hanya menjadi tokoh pembantu dalam film ini.
Saur Sepuh V: Istana Atap Langit (1992)
Istana Atap Langit merupakan film terakhir dalam serial waralaba Saur Sepuh yang dirilis tahun 1992 dan disutradarai Torro Margens. Walaupun Imam Tantowi tidak kembali menyutradarai film ini, Istana Atap Langit dinilai sebagai bagian serial waralaba layar lebar Saur Sepuh yang terbagus dari segi kualitas, efek khusus, tata suara serta ilustrasi musik. Cerita dalam film ini juga lebih tepat dimasukkan ke dalam kisah sentral film Saur Sepuh, karena kembali mengetengahkan kisah tiga tokoh utamanya, yaitu Prabu Brama Kumbara (Fendi Pradana), adiknya Mantili (Elly Ermawatie), dan Lasmini (Murti Sari Dewi).
Biksu Kampala dan Biksu Targhu, dua biksu pengelana dari negeri Tibet hadir di Kerajaan Madangkara untuk mengenal kerajaan yang kecil namun makmur bersahaja yang dipimpin Prabu Brama Kumbara tersebut. Namun kehadiran mereka justru dianggap sebagai musuh setelah Lasmini menyebarkan isu bahwa Kampala datang untuk membunuh Prabu Brama Kumbara. Isu Lasmini tersebut akhirnya menebar kekacauan dimana pun Biksu Kampala dan Biksu Targhu hadir. Mantili menyadari niat buruk Lasmini yang mengail di air keruh dan membuat Lasmini marah setelah utusannya, Kijara dan Lugina tewas di tangan Mantili. Mantili akhirnya menyadari kekeliruannya dan kemudian meminta Brama Kumbara supaya turun tangan untuk menyelesaikan semuanya. Di akhir cerita, Raden Bentar dititipkan oleh Prabu Brama Kumbara ke dalam asuhan Biksu Kampala untuk mendalami ajaran Buddha di negeri Tibet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar